Surat Berharga & Surat yang Berharga

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ), Surat terbagi atas 2 macam :
  1. Surat berharga, dalam bahasa Belanda disebut Waarde Papier, atau di Negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah Negotiable Instruments.Yaitu surat yang yang diadakan oleh seseorang sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang merupakan pembayaran harga sejumlah uang. Contoh : Wesel, Cek, Sertifikat deposito, Bilyet giro, Kartu kredit, Kartu ATM, dsb
  2. Surat yang berharga, dalam bahasa Belanda disebut Papier Van Waarde atau dalam bahasa Inggrisnya Letter of Value.yaitu surat yang berisikan identitas diri seseorang dan tidak dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Contoh : Ijazah, Piagam, Sertifikat, akta otentik, dsb.

Pengertian Surat Berharga dari berbagai doktrin :
  • Menurut Molengraaff, surat berharga adalah akta-akta atau alat-alat yang menurut kehendak penerbitnya atau ketentuan undang-undang yang diperuntukkan semata-mata sebagai upaya bukti diri (legitimasi), akta-akta tersebut diperlukan untuk menagih.
  • Menurut Ribbius, surat berharga artinya surat yang pada umumnya harus harus didalam pemilikan seseorang untuk dapat melaksanakan hak yang ada didalamnya.
  • Menurut Purwo Sutjipto, surat berharga adalah surat bukti tuntutan hutang, pembawa hak dan mudah untuk diperjualbelikan.
  • Menurut Abdul Kadir Muhammad, Surat berharga adalah surat yang sengaja diterbitkan untuk sebagai pelaksana suatu prestasi.

Fungsi surat berharga  :
  1. Sebagai alat pembayaran (alat ukur uang).
  2. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjual-belikan dengan mudah atau sederhana).
  3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).
  4. Sebagai pembawa hak

Tujuan penerbitan surat berharga adalah untuk berbagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang. Meskipun telah disebutkan bahwa surat wesel cek adalah dapat diperjual-belikan dengan mudah, tetapi dilakukan hanya ada insiden saja. Namun demikian , tidak harus selalu begitu atau bersifat mutlak karena tujuan penerbitannya bukanlah untuk diperjual-belikan.

Klausul Atas Tunjuk & Atas Pengganti
            Salah satu fungsi surat berharga adalah sebagai alat untuk memindahkan hak tagih. Artinya, dapat diperjual-belikan atau dipindah-tangankan kepada pemegang berikutnya setiap saat apabila dikehendaki oleh pemegangnya. Pemindahtangannan ini cukup dengan menyerahkan surat saja atau dengan menulis keterangan pada surat itu bahwa hak tagihnya dipindahkan kemudian ditandatangani dan diserahkan.
            Klausula atas tunjuk berasal dari bahasa Belanda Aan Toonder dan Bahasa Inggris To Bearer yang berarti pemegang yang akan memperoleh tagihan tidak cukup hanya dengan membawa surat itu tanpa menunjukkan atau memperlihatkan kepaada pihak terkait. Pihak terkait baru akan membayarnya apabila pemegang surat itu menunjukkan dan menyerahkannya. Jadi, menunjukkan dalam arti yuridis menurut Hukum Dagang berarti memintakan pembayaran, siapa saja yang memegang dan menunjukkan surat itu, dialah yang berhak mendapatkan pembayaran.

Berdasarkan atas isi perikatannya, surat atas tunjuk dan atas pengganti terbagi atas 3 golongan (Scheltema, 1938:27-31), yaitu :
  1. Surat-surat yang bersifat hukum kebendaan (Zakenrechtelijke Papieren)
  2. Surat-surat tanda keanggotaan dari suatu persekutuan (Lidmaatschapspapieren)
  3. Surat-surat tagihan utang (Lidmaatschapspapieren)

Dasar Hukum yang Mengikat antara Penerbit dan Pemegang Surat Berharga.
Terdapat 4 teori yang membahas tentang perikatan antara penerbit dan pemegang surat berharga (Zevenbergen, 1935:40-45), yaitu :
  • Teori kreasi atau penciptaan (Creatietheorie),
Teori ini awalnya dikemukakan oleh Einert seorang Sarjana Hukum Jerman pada tahun 1839, kemudian diteruskan oleh Kuntze dalam bukunya Die lehre von den inhaberpapieren tahun 1857, menurut teori ini, yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang adalah pada perbuatan “menandatangani” surat berharga itu.
Namun pernyataan sepihak dengan tanda tangan saja tidak mungkin menimbulkan perikatan. Untuk itu agar supaya timbulnya perikatan harus ada 2 pihak yang mengadakan persetujuan, sebab tanpa persetujuan tidak akan mungkin ada kewajiban.
Dengan demikian, jika surat berharga itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak dan tidak jujur, penerbit yang menandatangani tetap terikat untuk membayar. Padahal pada pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata telah menyebutkan seorang yang kehilangan surat karena dicuri masih berhak menuntut kembali surat tersebut dari si pencuri atau penemunya selama tenggang waktu 3 (tiga) tahun, kecuali pemegang memperolehnya dari pasar umum.

  • Teori kepantasan (Redelijkheidstheorie)
Teori ini pertama kali dikemukakan seorang sarjana hukum Jerman bernama Grunhut, yang menyatakan bahwa penerbit yang menandatangani  surat itu tetap terikat untuk membayar kepada pemegang, meskipun pemegang yang tidak jujur.
Namun teori ini masih berdasarkan pada teori penciptaan, bahwa penandatanganan surat berharga itu menimbulkan perikatan. Karena pada prinsipnya pernyataan sepihak tidak mungkin menimbulkan perikatan jika tidak ada persetujuan dari pihak lainnya.
  • Teori perjanjian (Overeenkomstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana hukum asal Jerman bernama Thoi, dalam bukunya Das Handelsrecht tahun 1987, menurut teori ini dasar hukum yang mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang adalah surat perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yaitu penerbit yang menandatangani dan pemegang pertama yang menerima surat berharga itu.
Dalam perjanjian, disetujui bahwa pemegang pertama mengalihkan surat itu kepada pemegang berikutnya, penerbit tetap terikat dan bertanggungjawab untuk membayar.
Namun teori ini tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan jika surat berharga itu beredar secara tidak normal, misalnya hilang atau dicuri.
  • Teori penunjukan (Vertoningstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh sarjana hukum terkenal, yaitu Land dalam bukunya Beginseleen van het Hedendaagsche Wisselrecht tahun 1881, Wittenwall dalam bukunya Het Toonderpapier tahun 1893, dan Jerman oleh Rieser.
Menurut teori ini yang menjadi dasr hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang yaitu perbuatan penunjukkan surat berharga itu kepada debitur. Debitur yang pertama adalah penerbit, oleh siapa surat berharga itu disuruh dipertunjukkan pada hari bayar, saat itulah timbul perikatan dan penerbit selaku debitur wajib membayarnya.
Namun teori ini tidak sesuai dengan fakta karena pembayaran adalah pelaksanaan dari suatu perjanjian atau perikatan, dengan demikian perikatan tersebut harus sudah ada terlebih dahulu sebelum pelaksanaannya. Teori ini pun dikatakan terlau jauh bertentangan dengan KUHD.
Didalam KUHD menentukan bahwa perikatan itu sudah ada sebelum hari bayar dan sebelum menunjukkan surat berharga itu. Dalam Pasal 142 KUHD yang menyatakan bahwa pemegang surat wesel bisa melaksanakan hak regresnya kepada para endosan, penerbit dan para debitur wesel lainnya pada hari bayarnya apabila terjadi nonpembayaran, bahkan sebelum hari pembayarannya. Hal ini dapat dilihat dari :
  1. Apabila akseptasi seluruh atau sebagiannya ditolak.
  2. Dalam hal kepailitan tersangkut, baik tersangkut akseptan maupun bukan akseptan, dan mulai saat berlakunya penundaan pembayaran yang diberikan kepadanya.
  3. Dalam hal pailitnya penerbit, surat wesel yang tidak diperoleh akseptasinya.

DAFTAR PUSTAKA :
- Dra. Farida Hasyim, M.Hum, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Bandar Lampung, 2009.
- Kuliah Hukum Kertas Berharga oleh Rosalinda, SH, STIHPADA Palembang, 2012