LOCUS DELICTI

Tempat yang Dianggap Terjadinya Suatu Tindak Pidana
( LOCUS DELICTI )

Tempat terjadinya peristiwa pidana antara lain :
1. Berhubungan dengan berlakunya hukum pidana
2. Berhubungan dengan Competentie Relatif

Manfaat diketahuinya locus delicti adalah :
1. Menentukan berlakunya undang-undang pidana Nasional dalam hal konkret.
2. untuk mengetahui berwewenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili suatu perkara (kompetensi relative)
3. untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hukum pidana diberlakukan terhadap suatu perkara.
4. sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan.


Jika kita memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini maka kita belum menemukan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai cara menentukan tempat terjadinya suatu peristiwa pidana (Locus Delicti), dengan demikian sulit bagi kita untuk menentukan hukum pidana mana yang berlaku terhadap orang yang melakukan tindak pidana ditempat diluar asal negaranya, untuk memecakan permasalahan tersebut.
Untuk menetapkan Locus Delicti tidak diatur dalam KUHP, melainkan diserahkan kepada ilmu dan praktek peradilan.
Menurut Satochid Kartanegara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada 4 azas dalam memperlakukan KUHP, diantaranya azas territorial atau azas wilayah dapat dilihat dalam Pasal 2,3 KUHP.
Menurut azas ini bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara didasarkan pada tempat dimana perbuatan itu dilakukan,tempat tersebut harus terletak dalam wilayah dimana hukum pidana tersebut berlaku.
Contoh kasus :
Kasus pembunuhan berencana dengan pemberatan yang diduga dilakukan oleh pilot pesawat Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto terhadap penumpang pesawatnya yang juga aktivis HAM, Munir Said Thalib dengan cara diracun saat berada didalam pesawat Garuda Indonesia yang tengah terbang menuju Amsterdam, Belanda dan saat itu telah memasuki wilayah Negara Belanda.
Maka untuk tersangka kasus pembunuhan Munir ini memakai asas hukum dan peradilan Indonesia karena tempat yang dianggap sebagai tempat terjadinya suatu perkara tindak pidana pembunuhan tsb berada didalam pesawat Garuda Indonesia.

Berdasarkan pada pasal 3 KUHPidana yang mengatakan :
”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar Wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Dalam membicarakan tempat atau locus delicti suatu perbuatan pidana azas wilayah dapat membantu memecahkannya, dimana apabila terjadi suatu peristiwa pidana didalam suatu negara dapat diperlakukan hukum pidana ditempat dimana kejadian tersebut atau tempat terjadinya peristiwa pidana.
Agar dapat menyelesaikan persoalan tentang Locus Delicti itu maka oleh Ilmu Hukum pidana bersama dengan Yurisprudensi Hukum Pidana telah dibuat 3 macam teori, yaitu :


A. TEORI ALAT ( DELEER VAN HET INSTRUMEN )
Yaitu Suatu tempat yang dianggap tempat terjadinya peristiwa pidana adalah tempat dimana alat bekerja atau tempat dimana alat yang dipergunakan untuk menyelesaikannya suatu tindak pidana tsb, dengan kata lain tempat dimana ada “uitwaking” (alat yang dipergunakan). Ajaran ini dikenal dengan ajaran “Teori Alat”.

Contoh kasus:
Terjadi perkelahian antara A dan B di pinggir di pinggir jalan raya, Lampung. B terkapar karena luka-luka ditikam A. oleh warga, B dilarikan ke Puskesmas setempat. Karena terlalu parah akhirnya pihak Puskesmas mengirim B ke RSUD dr.Moehammad Hoesin Palembang. Kurang lebih 2 jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya.
alat berupa senjata tajam yang digunakan A dalam perkelahiannya dengan B bereaksi / berfungsi / bekerja di tempat perkelahian yaitu di pinggir jalan raya, Lampung, dengan demikian maka yang berwewenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negeri Lampung, karena temnpat terjadinya perkelahian yang berujung penusukan itu masuk dalam wilayah hukum kotamadya Lampung.

B. TEORI AKIBAT (DELEER VAN HET DEMEER VOUDIGE PLAT )
Yaitu Suatu tempat yang dianggap tempat terjadinya peristiwa pidana adalah tempat dimana kejadian menimbulkan akibat “ajaran ini dikenal dengan ajaran teori akibat”.
Contoh kasus :
Seorang Warga Negara Malaysia yang berdomisili di Kuala Lumpur, Malaysia melakukan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) berkedok undian berhadiah terhadap korban WNI yang berada di Indonesia, karena terbuai akan bujuk rayu serta iming-iming mendapat hadiah besar korban memenuhi permintaan si penipu untuk mentransfer sejumlah uang, akibat kejadian tsb korban mengalami kerugian jutaan Rupiah.
Menurut ajaran Deleer van het demeer voudige Peradilan Indonesia yang berwenang mengadili kasus ini karena akibat yang ditimbulkan atas kejadian tindak pidana penipuan tsb berada di Wilayah Negara Indonesia.



C. TEORI PERBUATAN MATERIIL ( DELEER VAN DELICHAMELYKE DAAD)
Yaitu suatu tempat yang dimana dianggap tempat dilakukannya kejahatan adalah tempat dimana perbuatan itu dilakukan (tempat kejadian).
Contoh :
Seorang teroris bernama A berniat membunuh B seorang warga Negara Jepang. Untuk melaksanakan niatnya, secara diam-diam A memasang bom di pesawat terbang yang akan ditumpang A dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Narita, Jepang. saat pesawat tersebut berada di wilayah udara Singapura bom yang dipasang B meledak. Hanya sebagian kecil penumpang pesawat termasuk B yang masih hidup, meskipun dalam kondisi kritis. Oleh keluarganya B dibawa ke Tokyo Jepang, Akan tetapi sesampai di depan rumah sakit Tokyo, Jepang B menghembuskan nafas terakhirnya akibat pendarahan yang cukup parah.
menurut ajaran deleer van delichamelijke daad bahwa perbuatan secara fisik yakni memasang bom dilakukan oleh A di pesawat yang sedang parkir di Bandara Soekarno-Hatta,dimana pesawat tersebutlah yang akan digunakan B ke Jepang. Dengan demikian, maka hukum pidana yang diberlakukan untuk mengadili perkara ini adalah Hukum Pidana Indonesia. Demikian pula pengadilan yang berwewenang mengadili perkara ini. Adalah Pengadilan Negeri Tanggerang, karena Bandara Soekarno-Hatta berada di wilayah Tanggerang.

A.2 Competentie Relatief (Tempat Wilayah)
Competentie Relatief adalah wilayah hukum suatu Pengadilan Negara untuk mengadilan suatu perkara pidana, dengan kata lain pengadilan negara mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa pidana.
Dalam undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak secara experessisverbis mengenai tempus dan locus delicti, tetapi menentukan competentie relative pengadilan negeri. Contoh dalam pasal 84 ayat (1) dan (2).
Suatu ketentuan baru yang diatur dalam pasal 85 KUHAP ialah dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri ybs, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadilan Negeri lain daripada yang tsb pada pasal 84 untuk mengadili perkara tsb. Dalam penjelasan pasal 85 itu dikemukakan bahwa aygn dimaksud dengan “keadaan daerah yang tidak mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam, dsb.
Ketentuan yang baru pula terdapat pada pasal 86 KUHAP yang menyatakan bahwa KUHP menganut asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang membuka kemungkinan apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang dapat diadili menurut hukum di Republik Indonesia, dengan maksud perkara pidana tsb dapat dengan mudah dan lancer maka ditunjuk Pengadian Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.


DAFTAR PUSTAKA
Rohman Hasyim, S.H, M.H, Diktat Hukum Pidana, Palembang, 2006
Soeharto RM, S.H, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika , Jakarta, 1993
Bambang Waluyo, S.H, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1991