Gagasan (Konsepsi) Pemasyarakatan

Sejak tahun 1945 atau tepatnya setelah perang dunia kedua, perlakuan terhadap nara pidana mendapat perhatian khusus dari kalangan dunia internasioanal, karena dalam perlakuan tersebut berdasarkan pada perikemanusiaan, sehingga tercipta “standart minimum Rules for the treatment of prisoner,” dan berkembanglah teori-teori daru dalam sistem pembinaan  narapidana.
Teori-teori lama seperti retributive punishment dan sebaginya memang lebih mudah untuk direseptir bahkan secara langsung dapat meresap pada rasa dan rasio masyarakat, karena pada umumnya jika ada pelanggaran hukum secara spontan hanya ditanggapi dari segi negatifnya saja, sedangkan teori rehabilitasi dan resosialisasi dinegara manapun tentu lebih sukar untuk langsung bisa diterima.

Karena biasa orang baru berpikir mencari jalan untuk merehabilitasi sesudah merasa puas bahwa sipelanggar hukum itu  sudah betul-betul menunjukkan tobat dan memang oleh yang berwenang telah dianggap cukup hukumannya yang sifatnya retributif.
Di Indonesia hal yang telah diuraikan diatas tadi,oleh warga masyarakatnya memang sangat dirasakan, karena sebagai Negara yang sudah merdeka, dan juga sebagai Negara hukum, maka dalam hal pelanggaran hukum khususnya sipelanggar huum (nara pidana) harus juga mendapat perlindungan  hukum dari Negara dalam rangka mengembalikan mereka ke dalam masyarakat sebagai warga masyarakat yang baik.
Dengan dasar membela dan mempertahankan “hak asasi manusia” pada suatu Negara hukum (sipelanggar hukum harus juga mendapat perlindungan hukum), maka oleh SAHARDJO S.H. (Menteri kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 juli 1963 telah dikemukakan suatu gagasan “SISTEM PEMASYARAKATAN” sebagai tujuan dari pidana penjara, yang diucapkan pada pidatonya yang berjudul “Pohon Beringan Pengayoman” pada penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu Hukum Universitas Indonesia
Untuk mengetahui lebih lanjut ide yang disampaikan oleh beliau yaitu ada prinsip-prinsip pokok sistem pemasyarakatan yang disampaiakan yaitu:

A. Orang-orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
Jelas bahwa yang dimaksud disini adalah masyarakat Indonesia yang menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur,
Bekal hidup bukan hanya berupa financial dan material tetapi yang lebih penting adalah mentaln fisik (kesehatan) keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam oembangunan bangsa.

B. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari Negara
Maka tidak boleh ada penyiksaan terhadap nara pidana baik yang berupa tindakan (treatment), ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami nara pidana hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaanya.

C. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.
Maka kepada nara pidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lamapu. Nara pidana dapat diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan social untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

D. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga
Untuk itu perlu ada pemisahan antara:
  • Yang recidivist dan yang bukan
  • Yang tindak pidana berat dan ringan
  • Macam tindak pidana yang dilakukan
  • Dewasa, dewasa muda dan anak-anak (LPK dewasa muda di sukamiskin)
  • Laki-laki dan wanita
  • Orang terpidana dan orang tahanan/titipan.

E. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak,narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.
Adapun yang dimaksud sebenarnya adalah tidak diasingkan secara “culture” bahwa mereka secara bertahap akan dibimbing diluar lembaga (ditengah-tengah masyarakat) itu merupakan  kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Dan memang sistem pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang “community centered” serta berdasarkan interaktivitas dan inter-disiplinair approarch antara unsure-unsur pegawai, masyarakat dan nara pidana.

F. Pekerjaan yang diberikan kepada nara pidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja.
Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan untuk ditujukan kepada pembangunan nasional. Maka harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangungan nasional.

G. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.
Maka pendidikan dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum didalamnya.
Kepada nara pidana harus diberikan pendidikan agama serta diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadahnya. Harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan juga kekeluargaan antar bangsa-bangsa.
Kepada nara pidana juga harus ditanamkan rasa persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan Indonesia, musyawarah untuk mencapai mufakat yang positif.

H. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat
Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa  ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh memakai kata-kata yang dapat menyinggung narapdana khususnya yang berkaitan dengan perbuatannya yang telah lampau yang telah menyebabkan ia masuk lembaga. Segala bentuk “label” yang negative hendaknya sedapat mungkin dihapuskan.

I. Nara pidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan
Maka perlu diusahakan supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarganya menjadi tanggungjawabnya, dengan disediakan pekerjaan ataupun dimungkinkan  bekerja dan diberi upah untuk pekerjaanya.
Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang diperlukan ataupun yang diberi kesemoatan kemungkinan untuk mendapat pendidikan diluar lembaga.
Apabila disimpulkan apa yang disampaikan oleh Sahardjo bahwa pemasyarakatan itu sebagai tujuan dari pidana penjara, dalam tahun 1964 dalam konferensi dinas direktorat Pemasyarakatan hal tersebut telah dirubah menjadi suatu sistem pemasyarakatan.
Untuk lebih jelasnya, dimana semenjak tahun 1955 arah dari perlakuan terhadap orang-orang hukuman hilang kemerdekaan dan penutupan adalah “Re –educatie” dan “Re-Socialicatie”, dan dalam tahun 1963 telah dirubah sehingga menjadi pemasyarakatan sebagai tujuan  dari pidana penjara, maka dalam tahun 1964 hal tersebut dinyatakan pula sebagai “Sistem Pembinaan”
Dari perubahan-perubahan pemikiran tentang nara pidana diatas, ada hal yang sangat disayangkan, yakni perubahan-perubahan tadi yang bermaksud mulia tidak sekaligus disertai dengan perubahan landasan hukumnya. Dengan kata lain walaupun sistem kepenjaraan  telah diganti dengan sistem pemasyarakatan akan tetapi landasan hukumnya masih tetapjaman hindia Belanda, yaitu berlandaskan Gestichten Reglement Stbl. 1971 No 708 yang seharusnya menjadi dasar hukum bagi sistem kepenjaraan. Sehingga sistem pemasyarakatan pada saat itu tidak bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Daftar Pustaka :
Kuliah Umum Dr. Setyo Utomo,S.H,M.hum tanggal 27 Mei 2011 di Kampus STIHPADA Palembang.